AYO, PERANGI KEMISKINAN !
Slogan diatas sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Terutama, hal ihwal mengenai cengkeraman kemiskinan massal di tengah badai bencana ditambah makin sulitnya situasi ekonomi. Memang, kita tak boleh bersikap pesimis berlebihan atau optimis membabibuta atas krisis kebangsaan berupa jerat kemiskinan yang kian melilit negeri ini. Persoalan terpenting saat ini bukanlah berlama-lama memperdebatkan angka resmi berapa jumlah kemiskinan. Yang lebih nyata, bagaimana mengurangi angka kemiskinan tersebut serta solusi penanggulangannya. Kemiskinan timbul dari faktor gabungan, berbagai bidang seperti persoalan ekonomi, politik, pendidikan, sosial-budaya, termasuk masalah pola pikir bangsa ini. Oleh karena itu, perang melawan kemiskinan tidaklah mutlak berdiri sendiri, melainkan harus bersinergi dengan pembenahan bidang-bidang multisektoral tersebut. Telah banyak analisa kemiskinan oleh para pakar berikut tawaran solusi yang musti dihadirkan. Berbagai program untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pun sudah lengkap dikeluarkan oleh Kantor Menko Perekonomian. Yakni, antara lain; tiga paket kebijakan berkaitan dengan perbaikan iklim usaha, pembangunan infrastruktur, dan perbaikan sektor keuangan, lengkap dengan matriks jadwal pencapaiannya serta departemen yang harus bertanggung jawab. Akan tetapi kita yang selalu terjebak dalam pelaksanaan program-program tersebut. Kita tidak memiliki cukup keberanian untuk melaksanakannya. Kalau pun toh dilaksanakan, selalu kontraproduktif dengan rumusan yang telah digariskan. Tak ada satu pun yang menyangkal betapa kaya rayanya negeri ini. Namun, mengapa rakyat tetap masih tenggelam dalam kemiskinan? Salah satu jawaban fundamental adalah bahwa sikap mental bangsa ini yang lebih kuat daya merusaknya ketimbang kemampuan merawat dan memberdayakan kekayaan tersebut. Mungkin inilah salah satu faktor mengapa rakyat hidupnya makin susah?
Bangsa kita terlalu terbiasa bertindak manipulatif. Bahkan untuk urusan rakyat miskin pun, data yang berbeda akan tersaji untuk kepentingan yang berbeda pula. Lihat saja perilaku kepala daerah yang tega menyembunyikan kemiskinan di wilayahnya, apabila data yang diminta dimaksudkan sebagai pemeringkatan status kemiskinan. Mereka tidak ingin wilayahnya dianggap tertinggal, dan kepemimpinannya dinilai gagal. Namun sebaliknya, bila data itu dimaksudkan untuk menghitung dana bantuan kemiskinan yang akan diberikan pemerintah pusat, tak jarang ada daerah yang sengaja membengkakkan jumlah penduduk miskin.
Sungguh sangat disayangkan, data BPS dan BKKBN kurang bisa dipakai untuk poverty targeting yang bisa melacak siapa sesungguhnya yang berhak atas dana kompensasi itu. Data BPS secara inheren dirancang untuk melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis kemiskinan. Jadi, orang miskin di sini menjadi "anonymous". Data ini tidak berguna untuk pengambilan kebijakan yang kental mengandung tujuan targeting. Sementara itu, data BKKBN bermasalah dalam penetapan definisi kemiskinan. Kendati data ini memiliki disagregasi yang lebih baik daripada data BPS, indikator dan metodologi yang dipakainya debatable. Akibatnya, dispute sering kali terjadi di lapangan ketika data ini dipakai untuk memisahkan kelompok miskin dan tak miskin dari target kebijakan.
Berangkat dari kenyataan tersebut, kejujuran adalah modal yang utama. Melalui kejujuran, data yang dikumpulkan dan disajikan tidak menjadi bias. Kebijakan pembangunan pun bisa disusun lebih terarah. Pemerintah pun harus bersikap jujur dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, dan berlapang dada mengungkapnya.
Seperti halnya pemberantasan korupsi, kemiskinan harus dijadikan musuh bersama (common enemy) yang harus diperangi. Keterlibatan seluruh elemen bangsa merupakan dasar sesungguhnya memerangi sumber kerisauan tersebut. Sejauh ini, masyarakat miskin masih dijadikan objek garapan, belum pada level partisipasi aktif mengobati penyakit sosial yang sedang mereka derita. Tanpa pelibatan dinamis masyarakat miskin, agenda pengurangan angka kemiskinan hanya ada di dunia ide saja. Selain itu, kita dituntut menciptakan pertumbuhan tinggi yang merata dan dapat mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi haruslah pertumbuhan untuk semua, bukan untuk sekelompok kecil bangsa Indonesia, apalagi untuk bangsa lain. Kebijakan nyata yang pro-rakyat miskin harus dilaksanakan. Bukan semata jargon politik dan bualan pemerintah. Upaya paling penting adalah pemberian akses terhadap faktor produksi bagi penduduk miskin. Masyarakat golongan bawah kurang mempunyai akses terhadap faktor produksi (tenaga kerja, modal, tanah, dan entrepreneur). Kebijakan pembangunan haruslah mengarah pada tingkat pemerataan yang tinggi dan kemandirian yang besar. Ideologi kemandirian inilah yang harus diinternalisasikan. Dalam menghadapi persaingan global yang semakin sengit, yang dibutuhkan adalah sikap optimisme untuk mandiri pada era digital dan di tengah orde dunia yang semakin kompleks ini.
Seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu mengatasi persoalan yang bersifat multisektoral itu. Harus lahir tindakan cepat untuk malapetaka berupa kemiskinan. Bangsa ini sangat membutuhkan yang namanya karya. Penyelesaian kemiskinan akan berbanding lurus dengan produktivitas dan karya kita. Sepanjang 63 tahun negeri ini merdeka, lebih banyak hal yang dirusak daripada yang didiciptakan. Akibatnya, bukan hanya kekayaan alam yang jauh berkurang, tetapi utang negara begitu menumpuk dan berat untuk dibayar. Kalau kita masih mengaku sebagai bangsa, maka bangunlah negara ini, jangan justru merusaknya. Banyak hal yang harus dilakukan untuk mencapai Indonesia yang maju, sejahtera, dan bersatu. Modal utama yang harus dihadirkan adalah sikap unggul, yaitu semangat kebangkitan akibat heroisme mencapai keunggulan bangsa, atau lebih akrab disebut budaya unggul (culture of excellence). Semoga Tuhan selalu meridhoi gerak langkah kita. Aamiin...
(Sumber : www.bergaul.com)
Slogan diatas sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Terutama, hal ihwal mengenai cengkeraman kemiskinan massal di tengah badai bencana ditambah makin sulitnya situasi ekonomi. Memang, kita tak boleh bersikap pesimis berlebihan atau optimis membabibuta atas krisis kebangsaan berupa jerat kemiskinan yang kian melilit negeri ini. Persoalan terpenting saat ini bukanlah berlama-lama memperdebatkan angka resmi berapa jumlah kemiskinan. Yang lebih nyata, bagaimana mengurangi angka kemiskinan tersebut serta solusi penanggulangannya. Kemiskinan timbul dari faktor gabungan, berbagai bidang seperti persoalan ekonomi, politik, pendidikan, sosial-budaya, termasuk masalah pola pikir bangsa ini. Oleh karena itu, perang melawan kemiskinan tidaklah mutlak berdiri sendiri, melainkan harus bersinergi dengan pembenahan bidang-bidang multisektoral tersebut. Telah banyak analisa kemiskinan oleh para pakar berikut tawaran solusi yang musti dihadirkan. Berbagai program untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pun sudah lengkap dikeluarkan oleh Kantor Menko Perekonomian. Yakni, antara lain; tiga paket kebijakan berkaitan dengan perbaikan iklim usaha, pembangunan infrastruktur, dan perbaikan sektor keuangan, lengkap dengan matriks jadwal pencapaiannya serta departemen yang harus bertanggung jawab. Akan tetapi kita yang selalu terjebak dalam pelaksanaan program-program tersebut. Kita tidak memiliki cukup keberanian untuk melaksanakannya. Kalau pun toh dilaksanakan, selalu kontraproduktif dengan rumusan yang telah digariskan. Tak ada satu pun yang menyangkal betapa kaya rayanya negeri ini. Namun, mengapa rakyat tetap masih tenggelam dalam kemiskinan? Salah satu jawaban fundamental adalah bahwa sikap mental bangsa ini yang lebih kuat daya merusaknya ketimbang kemampuan merawat dan memberdayakan kekayaan tersebut. Mungkin inilah salah satu faktor mengapa rakyat hidupnya makin susah?
Apa yang salah?
Sesungguhnya
sudah lama kita lemah dalam urusan administrasi kependudukan. Artinya,
kita tidak memiliki data kependudukan yang valid dan dapat
dipertanggungjawabkan, yang menjadi data resmi nasional, serta acuan
setiap program pemerintah. Dahulu kita mengandalkan dua sumber data
ketika kemiskinan dibicarakan, yaitu data Survei Sosial dan Ekonomi
Nasional (Susenas) BPS dan data Keluarga Pra-Sejahtera BKKBN, sekarang
kita juga punya data kemiskinan versi BLT atau Raskin.Bangsa kita terlalu terbiasa bertindak manipulatif. Bahkan untuk urusan rakyat miskin pun, data yang berbeda akan tersaji untuk kepentingan yang berbeda pula. Lihat saja perilaku kepala daerah yang tega menyembunyikan kemiskinan di wilayahnya, apabila data yang diminta dimaksudkan sebagai pemeringkatan status kemiskinan. Mereka tidak ingin wilayahnya dianggap tertinggal, dan kepemimpinannya dinilai gagal. Namun sebaliknya, bila data itu dimaksudkan untuk menghitung dana bantuan kemiskinan yang akan diberikan pemerintah pusat, tak jarang ada daerah yang sengaja membengkakkan jumlah penduduk miskin.
Sungguh sangat disayangkan, data BPS dan BKKBN kurang bisa dipakai untuk poverty targeting yang bisa melacak siapa sesungguhnya yang berhak atas dana kompensasi itu. Data BPS secara inheren dirancang untuk melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis kemiskinan. Jadi, orang miskin di sini menjadi "anonymous". Data ini tidak berguna untuk pengambilan kebijakan yang kental mengandung tujuan targeting. Sementara itu, data BKKBN bermasalah dalam penetapan definisi kemiskinan. Kendati data ini memiliki disagregasi yang lebih baik daripada data BPS, indikator dan metodologi yang dipakainya debatable. Akibatnya, dispute sering kali terjadi di lapangan ketika data ini dipakai untuk memisahkan kelompok miskin dan tak miskin dari target kebijakan.
Berangkat dari kenyataan tersebut, kejujuran adalah modal yang utama. Melalui kejujuran, data yang dikumpulkan dan disajikan tidak menjadi bias. Kebijakan pembangunan pun bisa disusun lebih terarah. Pemerintah pun harus bersikap jujur dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, dan berlapang dada mengungkapnya.
Bagaimana solusinya?
Persoalan
kemiskinan merupakan persoalan jangka panjang. Solusi yang dihadirkan
merupakan proyek masa depan. Jika sejarah adalah cermin, maka tak ada
proses instan dalam penanggulangan kemiskinan. Kebijakan berupa Bantuan
Langsung Tunai (BLT) meskipun penting, namun hanya merupakan kebijakan
pelipur lara, yang dalam ilmu politik populis dinamakan piecemeal
policy. Pemerintah memberikan ”ikan” bukan ”kail” kepada penduduk
miskin. Akibatnya, mereka kurang bisa kreatif ”memancing” di tengah arus
derasnya kenaikan harga BBM akhir-akhir ini.Seperti halnya pemberantasan korupsi, kemiskinan harus dijadikan musuh bersama (common enemy) yang harus diperangi. Keterlibatan seluruh elemen bangsa merupakan dasar sesungguhnya memerangi sumber kerisauan tersebut. Sejauh ini, masyarakat miskin masih dijadikan objek garapan, belum pada level partisipasi aktif mengobati penyakit sosial yang sedang mereka derita. Tanpa pelibatan dinamis masyarakat miskin, agenda pengurangan angka kemiskinan hanya ada di dunia ide saja. Selain itu, kita dituntut menciptakan pertumbuhan tinggi yang merata dan dapat mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi haruslah pertumbuhan untuk semua, bukan untuk sekelompok kecil bangsa Indonesia, apalagi untuk bangsa lain. Kebijakan nyata yang pro-rakyat miskin harus dilaksanakan. Bukan semata jargon politik dan bualan pemerintah. Upaya paling penting adalah pemberian akses terhadap faktor produksi bagi penduduk miskin. Masyarakat golongan bawah kurang mempunyai akses terhadap faktor produksi (tenaga kerja, modal, tanah, dan entrepreneur). Kebijakan pembangunan haruslah mengarah pada tingkat pemerataan yang tinggi dan kemandirian yang besar. Ideologi kemandirian inilah yang harus diinternalisasikan. Dalam menghadapi persaingan global yang semakin sengit, yang dibutuhkan adalah sikap optimisme untuk mandiri pada era digital dan di tengah orde dunia yang semakin kompleks ini.
Seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu mengatasi persoalan yang bersifat multisektoral itu. Harus lahir tindakan cepat untuk malapetaka berupa kemiskinan. Bangsa ini sangat membutuhkan yang namanya karya. Penyelesaian kemiskinan akan berbanding lurus dengan produktivitas dan karya kita. Sepanjang 63 tahun negeri ini merdeka, lebih banyak hal yang dirusak daripada yang didiciptakan. Akibatnya, bukan hanya kekayaan alam yang jauh berkurang, tetapi utang negara begitu menumpuk dan berat untuk dibayar. Kalau kita masih mengaku sebagai bangsa, maka bangunlah negara ini, jangan justru merusaknya. Banyak hal yang harus dilakukan untuk mencapai Indonesia yang maju, sejahtera, dan bersatu. Modal utama yang harus dihadirkan adalah sikap unggul, yaitu semangat kebangkitan akibat heroisme mencapai keunggulan bangsa, atau lebih akrab disebut budaya unggul (culture of excellence). Semoga Tuhan selalu meridhoi gerak langkah kita. Aamiin...
(Sumber : www.bergaul.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar