Jumlah Penduduk Indonesia Mengalami Sedikit Kenaikan Di Tahun 2013

Selasa, 18 Juni 2013
Merdekaonline.com - Jakarta - Faktor dinamika sudah masuk menjadi sebuah isu namun sudah menjadi faktor yang terjadi karena penduduk itu harus direkayasa.Misalnya, penduduk Indonesia berjumlah 200 juta jiwa bisa direkayasa menjadi 185 juta jiwa.

Hal ini dikatakan oleh Pelaksana Tugas Kepala BKKBN,Sudibyo Alimusa dalam Diskusi dua mingguan Pimpinan BKKBN dengan Jurnalis dan sosialisasi lomba karya tulis bagi jurnalis,penulis media cetak,online dan radio di kantor BKKBN,Jakarta,Senin (25/2).

"Semua itu bisa dirubah manakala dinamika bisa di rekayasa," ujar Sudibyo.



Lebih lanjut,Dia menjelaskan,kalau kuantitas jangan hanya dilihat dari jumlah penduduk saja,karena kalau dilihat hanya dalam jumlah saja tapi strukturnya tidak tahu."Jadi struktur itu sangat penting untuk diprioritaskan," ungkapnya.

Tahun 2013 ini,kata Sudibyo,penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 250 juta jiwa."Jadi jumlah penduduk Indonesia hanya mengalami kenaikan sedikit saja," tuturnya.

Kemudian untuk struktur penduduk Indonesia,tambah Sudibyo,telah mengalami yang namanya Triple Burden diantaranya,Lansia sekitar 7,59 persen,Angkatan Kerja 63,54 persen dan Usia sekolah serta Balita 28,87 persen."Struktur penduduk Indonesia itu seperti sebuah candi Borobudur.Namun kita menginginkan struktur penduduk Indonesia seperti candi Prambanan," ungkapnya.

Dalam acara Diskusi dua mingguan ini,BKKBN mengangkat tema "Hasil Sementara SDKI 2012 dan Implikasinya Terhadap Program Kependudukan dan KB" yang dihadiri oleh Plt.Kepala BKKBN,Sudibyo Alimusa serta Arswendo Atmowiloto dan M.Sobary yang sekaligus mensosialisasikan lomba karya tulis bagi jurnalis dari berbagai media baik media cetak,online dan radio.(SR)
Menurutnya,dinamika kependudukan itu komponennya ada tiga bagian yakni,Fertilitas,Mortalitas dan Mobilitas."Dinamika ini salah satu bagian dari situasi kependudukan Indonesia dan selain itu ada kuantitas dan kualitas," jelasnya.
Read more ...

Jumlah dan Persebaran Penduduk di Indonesia

Selasa, 18 Juni 2013

Situasi Kependudukan di Indonesia
Penduduk merupakan salah satu sumber daya yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Penduduk dapat memacu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. Selain itu kesejahteraan penduduk juga menjadi sasaran utama proses pembangunan Indonesia, sehingga keadaan penduduk perlu mendapat perhatian, khususnya pada era globalisasi seperti saat ini.

Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Menurut Propinsi Tahun 2000-2010
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, dari tahun ke tahun kecenderungan jumlah penduduk Indonesia terus meningkat. Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun 2000 sampai 2010 dengan laju pertumbuhan penduduk cenderung menurun sampai tahun 2000 dan meningkat pada tahun 2010. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 meningkat dari 205.132.458 jiwa pada tahun 2000 menjadi 237.556.363 jiwa dengan laju pertumbuhannya sebesar 1,49 persen. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia antara tahun 2000-2010 adalah sebesar 1,49 persen, artinya setiap tahun antara tahun 2000 sampai tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia bertambah sebesar 1,49 persen-nya. 
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada tahun 2000-2010 yang mengalami peningkatan dibandingkan laju pertumbuhan penduduk tahun 1990-2000 menunjukan pertambahan jumlah penduduk yang semakin besar selama periode tahun 2000-2010 dibandingkan dengan tahun 1990-2000. Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk yang semakin besar ini dapat menimbulkan banyak permasalahan jika tidak ditangani dengan baik. Hal ini disebabkan antara lain karena laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk, selain itu jumlah penduduk yang terus meningkat juga diikuti dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang tinggi.
Pada tahun 2010, sebanyak 57,48 persen penduduk Indonesia berada di pulau Jawa, sedangkan penduduk yang tinggal di pulau Maluku dan Papua tidak lebih dari 3 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Padahal jika dibandingkan, luas wilayah pulau Jawa hanya sekitar 7 persen dari seluruh wilayah daratan Indonesia, sedangkan gabungan pulau Maluku dan Papua memiliki luas wilayah sekitar 24 persen dari seluruh luas Indonesia. 
Pulau dengan luas wilayah yang lebih besar dari pulau Jawa lainnya seperti Kalimantan dan Sulawesi juga hanya dihuni oleh tidak lebih dari 13 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Hal ini menunjukkan persebaran penduduk di Indonesia pada tahun 2010 masih terpusat di pulau Jawa walaupun dengan luas wilayah yang tidak begitu luas. Sedangkan pulau-pulau yang memiliki luas wilayah lebih besar dari pulau Jawa justru hanya dihuni oleh sedikit penduduk dari total penduduk Indonesia, kecuali pulau Sumatera yang memiliki persentase sebesar 21 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.
Secara lebih rinci persebaran penduduk di Indonesia berdasarkan propinsi pada tahun 2000 dan 2010 terlihat pada gambar di bawah ini.

 Gambar 1. Peta Persebaran Penduduk Indonesia Menurut Propinsi Tahun 2000

Gambar 2. Peta Persebaran Penduduk Indonesia Menurut Propinsi Tahun 2010
Pada gambar 1 di atas terlihat bahwa pada tahun 2000, propinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia (ditandai dengan warna merah pada peta), sedangkan propinsi Banten memiliki tingkat kepadatan lebih rendah dibandingkan ketiga propinsi tersebut. Propinsi di luar Pulau Jawa yang memiliki jumlah penduduk cukup besar adalah Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan (ditandai dengan warna biru pada peta).

Pada gambar 2 terlihat bahwa pada tahun 2010, propinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah propinsi yang masih memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Sedangkan propinsi di luar Pulau Jawa yang memiliki jumlah penduduk cukup besar adalah Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Jika kita bandingkan jumlah penduduk berdasarkan propinsi pada tahun 2000 dan 2010 terlihat bahwa propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mengalami percepatan pertumbuhan penduduk dibandingkan propinsi lainnya. Hal ini terlihat dari peta dimana pada tahun 2000 kedua propinsi ini masih berwarna orange sedangkan pada tahun 2010 sudah berubah menjadi hijau. Percepatan pertumbuhan ini juga terjadi pada beberapa pulau di propinsi Maluku dan Papu
Read more ...

masalah kependudukan di indonesia dan solusinya

Selasa, 18 Juni 2013

masalah akibat padatnya peduduk indonesia 

Pertumbunah penduduk yang terus meningkat di Indonesia dari pengumpulan data Sensus Penduduk 2010 telah mencapai 90 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan penduduk Indonesia akan mencapai 240 juta. Jumlah tersebut lebih tinggi dari perkiraan semula 235 juta.

Penyebab padatnya penduduk adalah karna pemerintah gagal menjalankan program KB, gagal melakukan program transmirgasi, tidak menggunakan lahan secara optimal, pembangunan tidak merata.

Akibat dampak padatnya penduduk ini banyak mengakibatkan:

1. Terdapat pengangguran yang tinggi,
2. Sering terjadi tawuran,
3. Kelaparan pendudukan,
4. Kemiskinan.

Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengimbangi pertambahan jumlah penduduk adalah:

1. Penambahan dan penciptaan lapangan kerja,
2. Meningkatkan kesadaran dan pendidikan kependudukan,
3. Mengurangi kepadatan penduduk dengan program transmigrasi,

4. Meningkatkan produksi dan pencarian sumber makanan.
Pertumbunah penduduk yang terus meningkat di Indonesia mengakibatkan menahan lajunya tingkat pendidikan. Pastinya akan banyak anak anak Indonesia, masa depan Indonesia yang harus hilang sia – sia begitu saja..!!! untuk itu pemerintah di harapkan mengatsi permasalahan tingkat pendidikan untuk warga yang kurang mampu, contoh dari sebuah keluarga yang kurang mampu misalnya, mereka mempunyai beberapa orang anak yang seharusnya masih melanjutkan tingkat pendidikan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, tapi apa daya karena tidak memiliki cukup banyak uang untuk menyekolahkan anak mereka tersebut, akhirnya anak mereka terpakasa putus sekolah.

Penambahan penduduk yang cepat menyebabkan tingkat kepadatan penduduk menjadi tinggi.Kalian telah mengetahui,bahwa manusia memiliki berbagai kebutuhan.Manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan makanan ,tempat tinggal atau lahan ,air bersih dan udara bersih,serta kebutuhan sosial ekomomi.

Kepadatan penduduk ini juga menyebabkan:
1. Berkurangnya ketersediaan lahan,
2. Kerusakan lingkungan,
3. Kekurangan kebutuhan air bersih,
4 Kekuranganmakanan.

Dampak lingkungan yang terjadi akibat masalah ledakan penduduk adalah polusi. Tingkat polusi bergerak naik seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk disuatu area permukiman. Polusi ditimbulkan dari asap hasil pembuangan kendaraan bermotor yang jumlahnya saat ini semakin meningkat tajam. Hal ini terlihat semakin tingginya frekuensi kemacetan yang terjadi dijalan-jalan yang membuat jalan di kota tidak lancar lagi di lalui.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dinamika Penduduk
Jumlah penduduk dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu yaitu bertambah atau berkurang. Dinamika penduduk atau perubahan jumlah penduduk dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu :
a. Kelahiran (natalitas)
b. Kematian (mortalitas)
c. Migrasi (perpindahan)

Jumlah kelahiran dan kematian sangat menentukan dalam pertumbuhan penduduk Indonesia, oleh karena itu kita perlu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelahiran dan kematian.
Faktor Yang Menunjang Dan Menghambat Kelahiran (Natalitas) Di Indonesia Adalah Sebagai Berikut:
a. Penunjang Kelahiran (Pro Natalitas) antara lain :
1. Kawin usia muda
2. Pandangan “banyak anak banyak rezeki”
3. Anak menjadi harapan bagi orang tua sebagai pencari nafkah
4. Anak merupakan penentu status social
5. Anak merupakan penerus keturunan terutama anak laki-laki.

b. Penghambat Kelahiran (Anti Natalitas) antara lain :
1. Pelaksanan Program Keluarga Berencana (KB)
2. Penundaan usia perkawinan dengan alasan menyelesaikan pendidikan
3. Semakin banyak wanita karir.

Penggolongan angka kelahiran kasar (CBR) :
1. angka kelahiran rendah apabila kurang dari 30 per 1000 penduduk
2. angka kelahiran sedang, apabila antara 30 – 40 per 1000 penduduk
3. angka kelahiran tinggi, apabila lebih dari 40 per 1000 penduduk

Faktor Yang Menunjang Dan Menghambat Kematian (Mortalitas) Di Indonesia, Adalah Sebagai Berikut :
a. Penunjang Kematian (Pro Mortalitas) antara lain :
1. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan
2. Fasilitas kesehatan yang belum memadai
3. Keadaan gizi penduduk yang rendah
4. Terjadinya bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir
5. Peparangan, wabah penyakit, pembunuhan

b. Penghambat Kematian (Anti Mortalitas) antara lain :
1. Meningkatnya kesadaran penduduk akan pentingnya kesehatan
2. Fasilitas kesehatan yang memadai
3. Meningkatnya keadaan gizi penduduk
4. Memperbanyak tenaga medis seperti dokter, dan bidan

Penggolongan angka kelahiran kasar :
1. angka kematian rendah apabila kurang dari 10 per 1000 penduduk
2. angka kematian sedang, apabila antara 10 – 20 per 1000 penduduk
3. angka kematian tinggi, apabila lebih dari 20 per 1000 penduduk

solusinya
Untuk mencapai pemerataan dan keseimbangan dalam penyebaran penduduk maka salah satu jalan dalam mengatasi masalah kependudukan ialah dengan mengadakan transmigrasi. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain dalam wilayah Indonesia umumnya orang-orang yang mengikuti program transmigrasi berasal dari Jawa, Madura, dan Bali, mereka biasanya ditempatkan di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, dan Nusantara.
Pulau Kalimantan yang merupakan salah satu pulau besar di Indonesia dan memilki jumlah penduduk yang relatif sedikit menjadi salah satu tempat tujuan transmigrasi. Wilayah ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan pertanian, dengan lahan yang masih luas dan tanah yang subur terbuka peluang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik bagi para transmigran.

Pemerataan penduduk melalui transmigrasi dianggap penting mengingat kekayaan alam yang merupakan modal pokok dalam pembangunan nasional, yang masih terpendam dalam bumi Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Pembangunan di bidang transmigrasi sangat erat hubungannya dengan pembangunan daerah, baik di daerah asal maupun daerah penerima. Dari berbagai studi telah didapatkan keterangan tentang keadaan para transmigran umum ketika di daerah asal. Transmigrasi umum di Kalimantan Selatan misalnya, 61% tidak memiliki tanah ketika di daerah asal ( hardjosoenarto dalam Friedrich, 1980:94 ). Transmigrasi adalah perpindahan tempat, suatu gerakan yang mempunyai motivasi, dengan berbagai factor yang melatarbelakanginya, ( Suyitno, 1980:116 ).


yang lain.
  • melaksanakan program KB atau Keluarga Berencana untuk membatasi jumlah anak dalam suatu keluarga secara umum atau missal sehingga dapat mengurangi jumlah angka kelahiran.
  • menunda masa perkawinan.
  • penambahan dan penciptaan lapangan kerja,
  • meningkatkan kesadaran dan pendidikan kependudukan.
  • mengurangi kepadatan penduduk dengan program transmigrasi.
  • meningkatkan produksi dan pencarian sumber makanan. 
Read more ...

Melihat Permasalahan TKI dari Sudut Pandang Pendidikan Pancasila

Selasa, 18 Juni 2013

Pendahuluan

Permasalahan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) bukan merupakan hal baru bagi bangsa Indonesia. Yan (2004) mengatakan bahwa sejak era 1970-an, permasalahan ini menduduki posisi teratas. Selama 35 tahun, permasalahan TKI tidak mengalami perkembangan yang berarti. Rumitnya permasalahan ini melibatkan banyak faktor baik dalam (Indonesia) maupun luar negeri (Malaysia). Juni (2005) mengidentifikasikan beberapa faktor penyebab masalah ini tidak kunjung selesai, antara lain dari dalam negeri meliputi permasalahan di bidang ekonomi, pemerintahan dan sosial. Sedangkan permasalahan dari luar negeri meliputi tingginya permintaan akan tenaga kerja dari Indonesia (Sadli, 2005).
Melihat banyaknya faktor yang saling berhubungan dalam permasalahan TKI ini, maka sebaiknya kita mulai merenungkan kembali akar permasalahan yang membuat TKI tidak “dimanusiawikan” oleh bangsanya sendiri (pemerintah) dan juga kualitas dari TKI itu sendiri. Bandingkan dengan kualitas TKF (Tenaga Kerja Filipina) yang di atas rata-rata serta kepedulian pemerintah terhadap TKF yang memperlakukan mereka seperti diplomat (Samhadi, 2005).
Makalah yang kami tulis ini akan mengulas beberapa permasalahan di atas secara singkat berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Tujuan akhir dari penulisan ini adalah untuk meninjau ulang sikap kita selama ini terhadap TKI, serta penyampaian saran tertulis untuk perbaikan sikap kita dan demi kesejahetraan kita semua yang ditinjau secara akademis.
Tinjauan Nilai-nilai Pancasila

Di dalam alinea 4 pembukaan UUD 1945 tertulis “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia  yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ……”. Kalimat ini memiliki tujuan khusus, yaitu untuk realisasi pembangunan bangsa Indonesia ke dalam dengan membentuk negara hukum formal dalam hubungannya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta membentuk negara hukum material yang hubungannya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa (Kaelan, 1999).
Kaelan, (1999) menyatakan bahwa dasar filsafat negara Indonesia bersumber dari hukum filosofis (Pancasila) yang terdapat dalam anak kalimat alinea 4 pembukaan UUD 1945, yang berbunyi “…..dengan berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia…..” Pancasila mempunyai hakikat, sifat, kedudukan dan fungsi sebagai pokok kaidah negara yang fundamental.
Dari pengertian di atas kita mengetahui bahwa Pancasila memiliki peran yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Jika mengkaji lebih lanjut, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka jelas bahwa Pancasila terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur yang merupakan wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi sebagai kerangka aturan untuk menata kehidupan individu maupun sosial dalam masyarakat serta hubungan dengan alam sekitarnya. Dalam pengertian tersebut, maka proses perumusan pandangan hidup masyarakat dituangkan dan dikembangkan menjadi pandangan hidup bangsa, dituangkan dan dilembagakan menjadi pandangan hidup negara yang disebut sebagai ideologi bangsa dan pandangan hidup negara disebut ideologi negara (Kaelan, 1999).
Dari penjelasan di atas kita bisa mengetahui hubungan antara pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila. Hubungan tersebut digolongkan menjadi dua, yaitu secara formal dan material. Secara formal; Dengan dicantumkannya Pancasila secara formal dalam pembukaan UUD 1945, maka Pancasila memperoleh kedudukan sebagai norma dasar hukum positif. Dengan demikian, tata kehidupan bernegara tidak hanya betopang pada asas-asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas kultural, religius dan asas-asas kenegaraan yang unsurnya terdapat dalam pancasila.
Sedangkan secara material; Pancasila sebagai sumber tertib hukum di Indonesia yang meliputi sumber nilai, sumber materi, sumber bentuk dan sifat yang merupakan pokok kaidah negara secara fundamental.
Tinjauan Artikel

McClelland dalam Mukadis (2005) mengelompokkan kebutuhan sosial manusia sebagai individu menjadi tiga, antara lain (1) Hasrat berprestasi (need for Achievement, nAch), (2) Hasrat berkuasa (need for Power, nPow) dan (3) Hasrat berkelompok (need for Affiliation, nAff). Mukadis (2005) menyatakan bahwa ketiga kebutuhan sosial itu merupakan salah satu faktor penyebab tidak selesainya permasalahan TKI. Dari hasil personel audit yang dilakukan oleh sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) dan pegawai negeri sipil (PNS), ternyata ditemukan kecenderungan tingginya nPow pada golongan III B ke atas. Sebaliknya pada golongan II D ke bawah, nAch memiliki kecenderungan yang tinggi Mukadis (2005). Dari hasil penelitian tersebut, maka secara sederhana kita bisa menyimpulkan bahwa ternyata “kebanyakan” para pemegang keputusan di negeri ini tidak menunjukkan contoh yang bagus. Mereka cenderung untuk menunjukkan kekuasaannya bukan pelayanannya kepada masyarakat (TKI). Bisa dikatakan mereka bersikapa acuh tak acuh terhadap nasib jutaan TKI di luar negeri.
Apabila kita melihat kepedulian pemerintah Filipina kepada tenaga kerjanya sangat bertolak belakang dengan Indonesia. Pemerintah Filipina mendukung secara aktif, dimana mereka ikut terlibat sejak pengurusan penempatan kerja, advokasi, kesejahteraan, pengurusan kepulangan dan lain sebagainya (Samhadi, 2005).
Hal ini sangat bertolak belakang dengan Filipina. Jika dibandingkan, Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan Filipina. Indonesia sama-sama merupakan negara berkembang di asia tenggara dengan permasalahan ekonomi, ketenagakerjaan serta penduduk yang padat. Namun jika dilihat dari kualitas SDM mereka, bisa dikatakan kita tertinggal jauh. Sebagai bukti, Filipina tidak lagi tergolong sebagai negara korup di Asia. Jika dilihat dari parameter tingkat pendidikan serta kesehatan, Filipina cukup unggul (Kompas, 2005).
Samhadi (2005) melaporkan bahwa kebanyakan dari TKF ini berpendidikan tinggi (Akademi, Perguruan tinggi).
Penyebab permasalahan bukan hanya dari sisi pemerintahan saja, tetapi juga melibatkan TKI itu sendiri. Jika dilihat dari segi sosial ekonomi, Mukadis (2005) menganalisa bahwa penyebab banyaknya jumlah TKI antara lain kurangnya lapangan kerja karena pengaruh krisis ekonomi, paradigma berpikir yang tidak kreatif, tidak ditanamkannya sikap berani (be a pigeon among the peacock), kurangnya penghargaan dari bangsa sendiri, dipermalukan jika memiliki pendapat yang berbeda. Diduga akar dari semua permasalahan di atas berasal dari cara pendidikan bangsa Indonesia yang tidak benar.
Pembahasan
Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh Juni (2005), beberapa faktor penyebab tidak selesainya permasalahan TKI dari dalam negeri (Indonesia), antara lain permasalahan di bidang ekonomi, pemerintahan dan sosial. Mengkaji permasalahan sosial dan ekonomi, maka salah satu sila yang berbicara banyak tentang hal itu adalah sila ke lima Pancasila. Sila ke lima dalam penyusunanya didasari, diliputi dan dijiwai oleh keempat sila yang lain (Kaelan, 1999).  Dengan kata lain Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah ber-Ketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia dan berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat klebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975). Pemahaman dari sila ke lima tersebut ternyata belum sepenuhnya bisa dijalankan oleh “bangsa Indonesia” secara murni dan konsekuen. Hal tersebut bisa dilihat dari kasus TKI 31 Januari 2005. Pada kasus tersebut, tergambar jelas rendahnya tingkat kesejahteraan umum serta kecerdasan bangsa Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bandingkan dengan Filipina yang memiliki tingkat SDM dan kesejahteraan yang di atas rata-rata.
Kemudian muncul pertanyaan mengapa kita bisa kalah bersaing dengan Filipina. Kami melihat banyak faktor yang cukup berperan dalam permasalahan ini, tetapi dalam pembahasan ini kami akan membatasi pada sisi pemerintahan saja. Jika membahas tentang pemerintahan, maka menurut kami teori kebutuhan McClelland dalam Mukadis (2005) mampu menjawabnya. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan (Mukadis, 2005), terlihat bahwa ternyata “kebanyakan” para pemegang keputusan di negeri ini tidak menunjukkan contoh yang bagus. Mereka cenderungan minta untuk dilayani (tingginya nPow) daripada untuk melayani. Bisa dikatakan mereka bersikapa acuh tak acuh terhadap nasib jutaan TKI di luar negeri. Hal tersebut sangat bertolak belakang sikap pemerintah Filipina yang mendukung tenaga kerja mereka secara aktif, sejak pengurusan penempatan kerja, advokasi, kesejahteraan, pengurusan kepulangan dan lain sebagainya (Samhadi, 2005).
Perbandingan kinerja pemerintahan (birokrat) dari kedua negara sudah sangat jelas berbeda. Birokrat Filipina sangat menonjolkan pelayanan mereka kepada masyarakat, sedangkan Indonesia adaloah sebaliknya. Semangat pelayanan (nAch) birokrat kita diragukan.
Sampai disini kita bisa melihat, bahwa ternyata betapa jauh perbedaan kita dengan negara tetangga kita (Filipina).
Apabila kita mau menilik kedalam, sikap para birokrat kita yang seperti itu sudah melanggar konsensus bersama yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan dasar berdirinya negara ini. Konsensus bersama itu merupakan pandangan hidup bangsa yang dibangun dari nilai-nilai luhur bangsa ini. Betapa egoisnya birokrat kita karena sudah menelantarkan ribuan WNI yang berstatus TKI di luar negeri.
Di dalam alinea 4 pembukaan UUD 1945 tertulis “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia  yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ……”. Kalimat ini memiliki tujuan khusus, yaitu untuk realisasi pembangunan bangsa Indonesia ke dalam dengan membentuk negara hukum formal dalam hubungannya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta membentuk negara hukum material yang hubungannya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa (Kaelan, 1999).
Para pengambil keputusan kita ternyata belum memahami sepenuhnya maksud serta tujuan dari kalimat yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Seandainya mereka mau memahami serta melaksanakannya, menurut pendapat kami permasalahan TKI yang telah ada sejak 1970-an tidaklah akan berlarut-larut. Permasalahan dari oknum birokrat ini, berdasarkan hasil analisa kami adalah paradigma mereka yang “mati”. Kematian paradigma ini banyak sekali penyebabnya, tetapi kami melihatnya berdasarkan ulasan artikel yang ditulis Mukadis (2005).
Di dalam artikelnya Mukadis (2005) memaparkan adanya “kesalahan cara berpikir “dari kebanyakan orang terdidik di negeri ini. Kesalahan berpikir itu antara lain paradigma berpikir yang tidak kreatif, tidak ditanamkannya sikap berani (be a pigeon among the peacock), kurangnya penghargaan dari bangsa sendiri, dipermalukan jika memiliki pendapat yang berbeda. Diduga akar dari semua permasalahan di atas berasal dari cara pendidikan bangsa Indonesia yang tidak benar. Kita mau mengakui atau tidak inilah sekarang yang kebanyakan kita temui di masyarakat. Permasalahan ini merupakan induk dari semua permasalahan yang ada di negeri ini. Jika masalah inti tidak dapat diselesaikan, maka masalah yang lain tidak akan selesai juga.
Ulasan kami di atas menyatakan bahwa pendidikan merupakan masalah penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Kami menyatakan pendidikan sangat penting dan merupakan hal yang mendasar karena dari pendidikan cara pandang seseorang terhadap permasalahan yang terjadi di sekitarnya mulai terbentuk.Pola-pola berpikir, mengambil keputusan mulai terasah dan tertanam. Maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika pendidikan awal sudah salah, tentunya dalam perkembangan selanjutnya akan semakin bertambah parah. Dengan kata lain menyimpang dari jalur yang seharusnya (melanggar konsensus).
 
Kesimpulan
Permasalahan yang kami temui dalam artikel menunjukkan bahwa sikap birokrat kita sudah menyalahi konsensus bangsa (Pancasila). Ini semua disebabkan karena kesalahan cara berpikir yang salah satu penyebabnya dari kesalahan pola pendidikan yang diterima sejak awal.
Saran
Untuk menyelesaikan semua permasalahan, langkah yang terbaik menurut kami adalah mengubah cara pendidikan kita. Dilakukan dengan reformating metode pendidikan yang dilakukan. Bukan hanya memikirkan kuantitas tetapi juga kualitas anak didik yang didasarkan pada konsensus bersama (Pancasila).
(Sumber : http://hendra-aquan.blog.friendster.com)
Read more ...

Pelayanan Publik di Era Reformasi

Selasa, 18 Juni 2013

Perjalanan reformasi sudah memasuki tahun kesepuluh, dan tuntutan mendasar dari reformasi juga salah satunya memperbaikan pelayanan publik yang selama ini sangat bobrok dan banyak diskriminasi didalamnya di masa Orde Baru. Pelayanan Publik diartikan sebagai, pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Hakikat pemerintahan adalah pelayanan kepada rakyat dan ia bukan untuk melayani diri sendiri namun memberikan pelayanan kepada ralyat. Jadi adalah pelayan rakyat. Public services oleh birokrasi adalah salah perwujuda dari fungsi aparatur negara sebagai abdi negara. Setelah era reformasi, tantangan birokrasi sebagai pemberi pelayanan kepada rakyat mengalami suatu perkembangan yang dinamis seiring dengan perubahan didalam masyarakat itu sendiri. Rakyat semakin sadar akan apa yang menjadi haknya serta apa yang menjadi kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dibalik itu, rakyat semakin berani mengajukan tuntutan-tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Tuntutan reformasi, birokrasi dituntut untuk mengubah posisi dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dulu, birokrasi suka mengatur dan memerintah arus diubah menjadi suka melayani, dulu yang menggunakan pendekatan kekuasaan harus diubah menjadi suka menolong menuju kearah yang lebih fleksibel kolaboratis dan dialogis serta yang dulu dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang lebih realistis pragmatis. Melalui revitalisasi ini, birokrasi publik diharapkan lebih baik dalam memberikan pelayanan publik serta menjadi lebih profesional dalam menjalankan tugasnya serta kewenangannya. Ada beberapa fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya yaitu:pertama; fungsi pelayan masyarakat (public service function), kedua; fungsi pembangunan (development function), ketiga; fungsi perlindungan (protection function).Wajah birokrasi publik selama orde baru sebagai pelayan rakyat sangat jauh dari yang diharapkan. Dalam pratika penyelenggaraan pelayanan, rakyat menempati posisi yang tidak menguntungkan. Beragam keluhan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan publik menunjukkan desakan terhadap perbaikan atau pembaharuan makna baik dari sisi substansi hubungan negara – masyarakat dan pemerintah – rakyat maupun perbaikan-perbaikan didalam internal birokrasi publik itu sendiri.1 Gasperz (1994) dalam Agung Kurniawan mengatakan, pelayanan memiliki karakteristik yang berbeda dengan barang yaitu outputnya yang tidak berbentuk (intangible output), tidak standar serta tidak dapat disimpan dalam inventori melainkan langsung dapat dikonsumsi pada saat produksi. Jadi dilihat dari hal tersebut, sebagai suatu intangible output pelayanan memiliki dimensi yang berbeda dengan barang yang bersifat tangible. Produk akhir pelayanan tidak memiliki karakteristik fisik sebagaimana yang dimiliki barang. Outputnya tergantung dari proses interaksi antara layanan dengan konsumen.Guna mencapai suatu pelayanan publik yang baik memang banyak hal-hal yang perlu diperbaiki dan salah 1 Kurniawan, Agung, Transformasi Pelayanan Publik, Pembaruan, Cetakan I Tahun 2005, hal 6-7. satunya melakukan pembaharuan birokrasi. Birokrasi harus bisa mengurangi bebannya dalam pengambilan keputusan dengan membaginya kepada lebih banyak orang yang mana memungkinkannya lebih banyak keputusan dibuat kebawah atau kepada pinggiran ketimbang mengkonsentrasikannya pada pusat yang akhirnya menjadi stres dan tertekan sehingga menjadi tidak berfungsi baik dalam memberikan pelayanan publik. Desentralisasi ini akan menciptakan birokrasi yang lebih fleksibel, efektif, inovatif, serta menumbuhkan motivasi kerja daripada yang tersentralisasi. Dengan pendelegasian wewenang keda strata yang lebih bawah daristrategic apex (pemimpin puncak) kepada operation apex (birokrat pelaksana) perlu segera direalisasikan, mengingat operation apex merupakan orang-orang yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik.Sebagai contoh, dalam hal pengurusan penerbitan surat kelahiran maupun lainnya yang selama ini dipegang oleh Kabupaten sudah bisa mendelegasikannya kepada pihak Kecamatan guna menciptakan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih fleksibel dan tidak memerlukan waktu yang panjang dan prosedur yang rumit sehingga membuat masyarakat akhirnya menjadi gampang dan mudah mengurusnya.Mendelegasikan tugas yang lebih besar kepada Kecamatan akan banyak memberikan keuntungan yang lebih besar sehingga Bupati sebagai pemimpin politik tidak repot dibuatnya, pendelegasian ini akan banyak memberikan perubahan yang signifikan sesuai tuntutan reformasi yaitu menciptakan pelayanan publik yang lebih baik. Era desentralisasi (otonomi daerah) saat ini merupakan momentum yang baik guna juga melakukan pembaruan struktur birokrasi publik didaerah yang lebih desentralistis dan tidak dilingkupi banyaknya aturan organisasi dan terlalu prosedural sehingga pengguna kekuasaan menjadi lebih leluasa dalam menggunakan diskresi yang adaptif dengan perubahan lingkungan termasuk tuntutan perbaikan pelayanan publik. Jadi struktur organisasi yang berbelit-belit dan terlalu menakutkan masyarakat harus iubah kepada yang lebih sederhana dan lebih bermasyarakat sehingga pelayanan publik di era reformasi dapat dicapai dengan baik dan memuaskan masyarakat. Mindset dalam merancang struktur birokrasi pemerintah Indonesia selama ini juga telah salah. Hierarki mulai dari pusat sampai kepelosok negeri Indonesia dirancang guna memudahkan Jakarta untuk mengendalikan sistem pemerintahan agar warga tidak melakukan kegiatan yang berlawanan dengan kepentingan pemerintah. Mungkin ini merupakan model birokrasi peninggalan kolonial dimana cenderung menganggap warga negara sebagai ancaman.2 Perubahan prosedur layanan terhadap masyarakat yang selama orde baru cenderung berbelit-belit sehingga menghambat akses masyarakat terhadap pelayanan publik yang secara wajar dan adil juga tidak akan tercapai tanpa perubahan misi dan budaya birokrasi. Misi birokrasi yang selama ini adalah untuk mengendalikan perilaku sehingga sulit mengembangkan pelayanan publik harus diubah melalui mempermudah akses akses warga dalam menggunakan pelayanan publik. Selama ini banyak warga tidak dapat mengikuti secara wajar prosedur pelayanan publik Indonesia.Apabila dilihat dari sisi pelayanan, diberlakukannya Undang Undang No. 22 Tentang Pemerintahan 2 Agus Dwiyanto (editor), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, 2005, hal 30.Daerah sejak 1 Januari 2001, yang telah memberikan perluasan kewenangan pada tingkat pemerintah daerah, dipandang sebagai salah satu upaya untuk memotong hambatan birokratis yang acapkali mengakibatkan pemberian pelayanan memakan waktu yang lama dan berbiaya tinggi. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah mau tidak mau harus mampu melaksanakan berbagai kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat, seiring dengan pelayanan yang harus disediakan.Konseksuensinya, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mampu memberikan pelayanan yang lebihberkualitas, dalam arti lebih berorientasi kepada aspirasi masyarakat, lebih efisien, efektif dan bertanggung jawab (accountable). Dengan kata lain pelaksanaan otonomi daerah adalah juga upaya untuk meningkatkankualitas pelayanan. Dalam konteks era desentralisasi ini, pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsifterhadap kepentingan publik. Paradigma pelayanan publik berkembang dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customerdriven government) dengan ciri-ciri: (a) lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (b) lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama, (c) menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas, (d) terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan, (e) lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat, (f) pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan, (g) lebih mengutamakan antisipasi terhada permasalahan pelayanan, (h) lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan (i) menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain: (1) memiliki dasar hukum yangjelas dalam penyelenggaraannya, (2)memiliki wide stakeholders, (3) memiliki tujuan sosial, (4) dituntut untukakuntabel kepada publik, (5) memiliki complex and debated performance indicators, serta (6) seringkali menjadi sasaran isu politik.Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitaspelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain:a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai padatingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Responterhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikansama sekali.b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat,lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.c. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat,sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurangberkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansipelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.e. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui prosesyang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff)untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemudengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanandiberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untukdiselesaikan.f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurangmemiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanandilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidakrelevan dengan pelayanan yang diberikan.Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme,kompetensi, empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perludipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat.Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancangkhusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.Kiranya melalui beberapa hal diatas perubahan pelayanan publik yang baik dalam era reformasi dapattercapai.
Read more ...

AYO, PERANGI KEMISKINAN !

Selasa, 18 Juni 2013


 AYO, PERANGI KEMISKINAN !
Slogan diatas sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Terutama, hal ihwal mengenai cengkeraman kemiskinan massal di tengah badai bencana ditambah makin sulitnya situasi ekonomi. Memang, kita tak boleh bersikap pesimis berlebihan atau optimis membabibuta atas krisis kebangsaan berupa jerat kemiskinan yang kian melilit negeri ini. Persoalan terpenting saat ini bukanlah berlama-lama memperdebatkan angka resmi berapa jumlah kemiskinan. Yang lebih nyata, bagaimana mengurangi angka kemiskinan tersebut serta solusi penanggulangannya.
Kemiskinan timbul dari faktor gabungan, berbagai bidang seperti persoalan ekonomi, politik, pendidikan, sosial-budaya, termasuk masalah pola pikir bangsa ini. Oleh karena itu, perang melawan kemiskinan tidaklah mutlak berdiri sendiri, melainkan harus bersinergi dengan pembenahan bidang-bidang multisektoral tersebut. Telah banyak analisa kemiskinan oleh para pakar berikut tawaran solusi yang musti dihadirkan. Berbagai program untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pun sudah lengkap dikeluarkan oleh Kantor Menko Perekonomian. Yakni, antara lain; tiga paket kebijakan berkaitan dengan perbaikan iklim usaha, pembangunan infrastruktur, dan perbaikan sektor keuangan, lengkap dengan matriks jadwal pencapaiannya serta departemen yang harus bertanggung jawab. Akan tetapi kita yang selalu terjebak dalam pelaksanaan program-program tersebut. Kita tidak memiliki cukup keberanian untuk melaksanakannya. Kalau pun toh dilaksanakan, selalu kontraproduktif dengan rumusan yang telah digariskan. Tak ada satu pun yang menyangkal betapa kaya rayanya negeri ini. Namun, mengapa rakyat tetap masih tenggelam dalam kemiskinan? Salah satu jawaban fundamental adalah bahwa sikap mental bangsa ini yang lebih kuat daya merusaknya ketimbang kemampuan merawat dan memberdayakan kekayaan tersebut. Mungkin inilah salah satu faktor mengapa rakyat hidupnya makin susah?
Apa yang salah?
Sesungguhnya sudah lama kita lemah dalam urusan administrasi kependudukan. Artinya, kita tidak memiliki data kependudukan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, yang menjadi data resmi nasional, serta acuan setiap program pemerintah. Dahulu kita mengandalkan dua sumber data ketika kemiskinan dibicarakan, yaitu data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) BPS dan data Keluarga Pra-Sejahtera BKKBN, sekarang kita juga punya data kemiskinan versi BLT atau Raskin.
Bangsa kita terlalu terbiasa bertindak manipulatif. Bahkan untuk urusan rakyat miskin pun, data yang berbeda akan tersaji untuk kepentingan yang berbeda pula. Lihat saja perilaku kepala daerah yang tega menyembunyikan kemiskinan di wilayahnya, apabila data yang diminta dimaksudkan sebagai pemeringkatan status kemiskinan. Mereka tidak ingin wilayahnya dianggap tertinggal, dan kepemimpinannya dinilai gagal. Namun sebaliknya, bila data itu dimaksudkan untuk menghitung dana bantuan kemiskinan yang akan diberikan pemerintah pusat, tak jarang ada daerah yang sengaja membengkakkan jumlah penduduk miskin.
Sungguh sangat disayangkan, data BPS dan BKKBN kurang bisa dipakai untuk poverty targeting yang bisa melacak siapa sesungguhnya yang berhak atas dana kompensasi itu. Data BPS secara inheren dirancang untuk melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis kemiskinan. Jadi, orang miskin di sini menjadi "anonymous". Data ini tidak berguna untuk pengambilan kebijakan yang kental mengandung tujuan targeting. Sementara itu, data BKKBN bermasalah dalam penetapan definisi kemiskinan. Kendati data ini memiliki disagregasi yang lebih baik daripada data BPS, indikator dan metodologi yang dipakainya debatable. Akibatnya, dispute sering kali terjadi di lapangan ketika data ini dipakai untuk memisahkan kelompok miskin dan tak miskin dari target kebijakan.
Berangkat dari kenyataan tersebut, kejujuran adalah modal yang utama. Melalui kejujuran, data yang dikumpulkan dan disajikan tidak menjadi bias. Kebijakan pembangunan pun bisa disusun lebih terarah. Pemerintah pun harus bersikap jujur dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, dan berlapang dada mengungkapnya.
Bagaimana solusinya?
Persoalan kemiskinan merupakan persoalan jangka panjang. Solusi yang dihadirkan merupakan proyek masa depan. Jika sejarah adalah cermin, maka tak ada proses instan dalam penanggulangan kemiskinan. Kebijakan berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) meskipun penting, namun hanya merupakan kebijakan pelipur lara, yang dalam ilmu politik populis dinamakan piecemeal policy. Pemerintah memberikan ”ikan” bukan ”kail” kepada penduduk miskin. Akibatnya, mereka kurang bisa kreatif ”memancing” di tengah arus derasnya kenaikan harga BBM akhir-akhir ini.
Seperti halnya pemberantasan korupsi, kemiskinan harus dijadikan musuh bersama (common enemy) yang harus diperangi. Keterlibatan seluruh elemen bangsa merupakan dasar sesungguhnya memerangi sumber kerisauan tersebut. Sejauh ini, masyarakat miskin masih dijadikan objek garapan, belum pada level partisipasi aktif mengobati penyakit sosial yang sedang mereka derita. Tanpa pelibatan dinamis masyarakat miskin, agenda pengurangan angka kemiskinan hanya ada di dunia ide saja. Selain itu, kita dituntut menciptakan pertumbuhan tinggi yang merata dan dapat mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi haruslah pertumbuhan untuk semua, bukan untuk sekelompok kecil bangsa Indonesia, apalagi untuk bangsa lain. Kebijakan nyata yang pro-rakyat miskin harus dilaksanakan. Bukan semata jargon politik dan bualan pemerintah. Upaya paling penting adalah pemberian akses terhadap faktor produksi bagi penduduk miskin. Masyarakat golongan bawah kurang mempunyai akses terhadap faktor produksi (tenaga kerja, modal, tanah, dan entrepreneur). Kebijakan pembangunan haruslah mengarah pada tingkat pemerataan yang tinggi dan kemandirian yang besar. Ideologi kemandirian inilah yang harus diinternalisasikan. Dalam menghadapi persaingan global yang semakin sengit, yang dibutuhkan adalah sikap optimisme untuk mandiri pada era digital dan di tengah orde dunia yang semakin kompleks ini.
Seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu mengatasi persoalan yang bersifat multisektoral itu. Harus lahir tindakan cepat untuk malapetaka berupa kemiskinan. Bangsa ini sangat membutuhkan yang namanya karya. Penyelesaian kemiskinan akan berbanding lurus dengan produktivitas dan karya kita. Sepanjang 63 tahun negeri ini merdeka, lebih banyak hal yang dirusak daripada yang didiciptakan. Akibatnya, bukan hanya kekayaan alam yang jauh berkurang, tetapi utang negara begitu menumpuk dan berat untuk dibayar. Kalau kita masih mengaku sebagai bangsa, maka bangunlah negara ini, jangan justru merusaknya. Banyak hal yang harus dilakukan untuk mencapai Indonesia yang maju, sejahtera, dan bersatu. Modal utama yang harus dihadirkan adalah sikap unggul, yaitu semangat kebangkitan akibat heroisme mencapai keunggulan bangsa, atau lebih akrab disebut budaya unggul (culture of excellence). Semoga Tuhan selalu meridhoi gerak langkah kita. Aamiin...
(Sumber : www.bergaul.com)
Read more ...

BPK : Ada Kerugian Negara Dalam Pembuatan E-KTP

Selasa, 18 Juni 2013

JAKARTA - Program Penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Penerapan KTP Elektronik
(e-KTP) berbasis NIK Nasional tahun 2011 mulai berjalan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, program tersebut belum efektif dan tidak mematuhi peraturan Presiden nomor 54 Tahun 2010.

"BPK menemukan antara lain permasalahan ketidakefektifan sebanyak 16 kasus senilai Rp 6,03 miliar," kata Ketua BPK Hadi Poernomo di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/10).

Hadi menambahkan, dalam kasus pengadaan e-KTP ini tercatat ada 3 kasus pemborosan dengan taksiran mencapai, Rp 605,84 juta. Sementara itu dampak dari ketidakpatuhan pemerintah, mengindikasikan adanya kerugian negara sebanyak 5 kasus dengan nilai Rp 36,41 Milliar.

Tidak hanya itu, Hadi juga menerangkan, pihaknya juga menilai ada potensi kerugian negara dari 3 kasus yang dilakukan pemerintah dengan nilai mencapai Rp 28,90 milliar.

"Permasalahan tersebut  disebabkan karena  konsorsium  perusahaan kontraktor e-KTP tidak dapat memenuhi jumlah pencapaian KTP elektronik tahun 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak," simpulnya.
Dikutip/diedit dari news.okezone.com
Read more ...