Permasalahan
TKI (Tenaga Kerja Indonesia) bukan merupakan hal baru bagi bangsa
Indonesia. Yan (2004) mengatakan bahwa sejak era 1970-an, permasalahan
ini menduduki posisi teratas. Selama 35 tahun, permasalahan TKI tidak
mengalami perkembangan yang berarti. Rumitnya permasalahan ini
melibatkan banyak faktor baik dalam (Indonesia) maupun luar negeri
(Malaysia). Juni (2005) mengidentifikasikan beberapa faktor penyebab
masalah ini tidak kunjung selesai, antara lain dari dalam negeri
meliputi permasalahan di bidang ekonomi, pemerintahan dan sosial.
Sedangkan permasalahan dari luar negeri meliputi tingginya permintaan
akan tenaga kerja dari Indonesia (Sadli, 2005).
Melihat banyaknya
faktor yang saling berhubungan dalam permasalahan TKI ini, maka
sebaiknya kita mulai merenungkan kembali akar permasalahan yang membuat
TKI tidak “dimanusiawikan” oleh bangsanya sendiri (pemerintah) dan juga
kualitas dari TKI itu sendiri. Bandingkan dengan kualitas TKF (Tenaga
Kerja Filipina) yang di atas rata-rata serta kepedulian pemerintah
terhadap TKF yang memperlakukan mereka seperti diplomat (Samhadi, 2005).
Makalah yang kami tulis ini akan mengulas beberapa permasalahan
di atas secara singkat berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Tujuan akhir
dari penulisan ini adalah untuk meninjau ulang sikap kita selama ini
terhadap TKI, serta penyampaian saran tertulis untuk perbaikan sikap
kita dan demi kesejahetraan kita semua yang ditinjau secara akademis.
Tinjauan Nilai-nilai Pancasila
Di
dalam alinea 4 pembukaan UUD 1945 tertulis “Kemudian dari pada itu
untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ……”. Kalimat
ini memiliki tujuan khusus, yaitu untuk realisasi pembangunan bangsa
Indonesia ke dalam dengan membentuk negara hukum formal dalam
hubungannya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, serta membentuk negara hukum material yang hubungannya
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa (Kaelan,
1999).
Kaelan, (1999) menyatakan bahwa dasar filsafat negara
Indonesia bersumber dari hukum filosofis (Pancasila) yang terdapat dalam
anak kalimat alinea 4 pembukaan UUD 1945, yang berbunyi “…..dengan
berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia…..” Pancasila mempunyai hakikat, sifat,
kedudukan dan fungsi sebagai pokok kaidah negara yang fundamental.
Dari
pengertian di atas kita mengetahui bahwa Pancasila memiliki peran yang
sangat penting bagi bangsa Indonesia. Jika mengkaji lebih lanjut,
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka jelas bahwa Pancasila
terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur yang merupakan wawasan
yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup
berfungsi sebagai kerangka aturan untuk menata kehidupan individu maupun
sosial dalam masyarakat serta hubungan dengan alam sekitarnya. Dalam
pengertian tersebut, maka proses perumusan pandangan hidup masyarakat
dituangkan dan dikembangkan menjadi pandangan hidup bangsa, dituangkan
dan dilembagakan menjadi pandangan hidup negara yang disebut sebagai
ideologi bangsa dan pandangan hidup negara disebut ideologi negara
(Kaelan, 1999).
Dari penjelasan di atas kita bisa mengetahui hubungan
antara pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila. Hubungan tersebut
digolongkan menjadi dua, yaitu secara formal dan material. Secara
formal; Dengan dicantumkannya Pancasila secara formal dalam pembukaan
UUD 1945, maka Pancasila memperoleh kedudukan sebagai norma dasar hukum
positif. Dengan demikian, tata kehidupan bernegara tidak hanya betopang
pada asas-asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya
dengan keseluruhan asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas
kultural, religius dan asas-asas kenegaraan yang unsurnya terdapat dalam
pancasila.
Sedangkan secara material; Pancasila sebagai sumber
tertib hukum di Indonesia yang meliputi sumber nilai, sumber materi,
sumber bentuk dan sifat yang merupakan pokok kaidah negara secara
fundamental.
Tinjauan Artikel
McClelland dalam Mukadis
(2005) mengelompokkan kebutuhan sosial manusia sebagai individu menjadi
tiga, antara lain (1) Hasrat berprestasi (need for Achievement, nAch),
(2) Hasrat berkuasa (need for Power, nPow) dan (3) Hasrat berkelompok
(need for Affiliation, nAff). Mukadis (2005) menyatakan bahwa ketiga
kebutuhan sosial itu merupakan salah satu faktor penyebab tidak
selesainya permasalahan TKI. Dari hasil personel audit yang dilakukan
oleh sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) dan pegawai negeri sipil
(PNS), ternyata ditemukan kecenderungan tingginya nPow pada golongan III
B ke atas. Sebaliknya pada golongan II D ke bawah, nAch memiliki
kecenderungan yang tinggi Mukadis (2005). Dari hasil penelitian
tersebut, maka secara sederhana kita bisa menyimpulkan bahwa ternyata
“kebanyakan” para pemegang keputusan di negeri ini tidak menunjukkan
contoh yang bagus. Mereka cenderung untuk menunjukkan kekuasaannya bukan
pelayanannya kepada masyarakat (TKI). Bisa dikatakan mereka bersikapa
acuh tak acuh terhadap nasib jutaan TKI di luar negeri.
Apabila
kita melihat kepedulian pemerintah Filipina kepada tenaga kerjanya
sangat bertolak belakang dengan Indonesia. Pemerintah Filipina mendukung
secara aktif, dimana mereka ikut terlibat sejak pengurusan penempatan
kerja, advokasi, kesejahteraan, pengurusan kepulangan dan lain
sebagainya (Samhadi, 2005).
Hal ini sangat bertolak belakang dengan
Filipina. Jika dibandingkan, Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan
Filipina. Indonesia sama-sama merupakan negara berkembang di asia
tenggara dengan permasalahan ekonomi, ketenagakerjaan serta penduduk
yang padat. Namun jika dilihat dari kualitas SDM mereka, bisa dikatakan
kita tertinggal jauh. Sebagai bukti, Filipina tidak lagi tergolong
sebagai negara korup di Asia. Jika dilihat dari parameter tingkat
pendidikan serta kesehatan, Filipina cukup unggul (Kompas, 2005).
Samhadi (2005) melaporkan bahwa kebanyakan dari TKF ini berpendidikan tinggi (Akademi, Perguruan tinggi).
Penyebab
permasalahan bukan hanya dari sisi pemerintahan saja, tetapi juga
melibatkan TKI itu sendiri. Jika dilihat dari segi sosial ekonomi,
Mukadis (2005) menganalisa bahwa penyebab banyaknya jumlah TKI antara
lain kurangnya lapangan kerja karena pengaruh krisis ekonomi, paradigma
berpikir yang tidak kreatif, tidak ditanamkannya sikap berani (be a
pigeon among the peacock), kurangnya penghargaan dari bangsa sendiri,
dipermalukan jika memiliki pendapat yang berbeda. Diduga akar dari semua
permasalahan di atas berasal dari cara pendidikan bangsa Indonesia yang
tidak benar.
Pembahasan
Berdasarkan identifikasi yang
dilakukan oleh Juni (2005), beberapa faktor penyebab tidak selesainya
permasalahan TKI dari dalam negeri (Indonesia), antara lain permasalahan
di bidang ekonomi, pemerintahan dan sosial. Mengkaji permasalahan
sosial dan ekonomi, maka salah satu sila yang berbicara banyak tentang
hal itu adalah sila ke lima Pancasila. Sila ke lima dalam penyusunanya
didasari, diliputi dan dijiwai oleh keempat sila yang lain (Kaelan,
1999). Dengan kata lain Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, adalah ber-Ketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil
dan beradab, berpersatuan Indonesia dan berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat klebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro,
1975). Pemahaman dari sila ke lima tersebut ternyata belum sepenuhnya
bisa dijalankan oleh “bangsa Indonesia” secara murni dan konsekuen. Hal
tersebut bisa dilihat dari kasus TKI 31 Januari 2005. Pada kasus
tersebut, tergambar jelas rendahnya tingkat kesejahteraan umum serta
kecerdasan bangsa Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bandingkan
dengan Filipina yang memiliki tingkat SDM dan kesejahteraan yang di atas
rata-rata.
Kemudian muncul pertanyaan mengapa kita bisa kalah
bersaing dengan Filipina. Kami melihat banyak faktor yang cukup berperan
dalam permasalahan ini, tetapi dalam pembahasan ini kami akan membatasi
pada sisi pemerintahan saja. Jika membahas tentang pemerintahan, maka
menurut kami teori kebutuhan McClelland dalam Mukadis (2005) mampu
menjawabnya. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan (Mukadis, 2005),
terlihat bahwa ternyata “kebanyakan” para pemegang keputusan di negeri
ini tidak menunjukkan contoh yang bagus. Mereka cenderungan minta untuk
dilayani (tingginya nPow) daripada untuk melayani. Bisa dikatakan mereka
bersikapa acuh tak acuh terhadap nasib jutaan TKI di luar negeri. Hal
tersebut sangat bertolak belakang sikap pemerintah Filipina yang
mendukung tenaga kerja mereka secara aktif, sejak pengurusan penempatan
kerja, advokasi, kesejahteraan, pengurusan kepulangan dan lain
sebagainya (Samhadi, 2005).
Perbandingan kinerja pemerintahan
(birokrat) dari kedua negara sudah sangat jelas berbeda. Birokrat
Filipina sangat menonjolkan pelayanan mereka kepada masyarakat,
sedangkan Indonesia adaloah sebaliknya. Semangat pelayanan (nAch)
birokrat kita diragukan.
Sampai disini kita bisa melihat, bahwa ternyata betapa jauh perbedaan kita dengan negara tetangga kita (Filipina).
Apabila
kita mau menilik kedalam, sikap para birokrat kita yang seperti itu
sudah melanggar konsensus bersama yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945
yang merupakan dasar berdirinya negara ini. Konsensus bersama itu
merupakan pandangan hidup bangsa yang dibangun dari nilai-nilai luhur
bangsa ini. Betapa egoisnya birokrat kita karena sudah menelantarkan
ribuan WNI yang berstatus TKI di luar negeri.
Di dalam alinea 4
pembukaan UUD 1945 tertulis “Kemudian dari pada itu untuk membentuk
suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ……”. Kalimat ini
memiliki tujuan khusus, yaitu untuk realisasi pembangunan bangsa
Indonesia ke dalam dengan membentuk negara hukum formal dalam
hubungannya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, serta membentuk negara hukum material yang hubungannya
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa (Kaelan,
1999).
Para pengambil keputusan kita ternyata belum memahami
sepenuhnya maksud serta tujuan dari kalimat yang tertulis dalam
Pembukaan UUD 1945. Seandainya mereka mau memahami serta
melaksanakannya, menurut pendapat kami permasalahan TKI yang telah ada
sejak 1970-an tidaklah akan berlarut-larut. Permasalahan dari oknum
birokrat ini, berdasarkan hasil analisa kami adalah paradigma mereka
yang “mati”. Kematian paradigma ini banyak sekali penyebabnya, tetapi
kami melihatnya berdasarkan ulasan artikel yang ditulis Mukadis (2005).
Di
dalam artikelnya Mukadis (2005) memaparkan adanya “kesalahan cara
berpikir “dari kebanyakan orang terdidik di negeri ini. Kesalahan
berpikir itu antara lain paradigma berpikir yang tidak kreatif, tidak
ditanamkannya sikap berani (be a pigeon among the peacock), kurangnya
penghargaan dari bangsa sendiri, dipermalukan jika memiliki pendapat
yang berbeda. Diduga akar dari semua permasalahan di atas berasal dari
cara pendidikan bangsa Indonesia yang tidak benar. Kita mau mengakui
atau tidak inilah sekarang yang kebanyakan kita temui di masyarakat.
Permasalahan ini merupakan induk dari semua permasalahan yang ada di
negeri ini. Jika masalah inti tidak dapat diselesaikan, maka masalah
yang lain tidak akan selesai juga.
Ulasan kami di atas menyatakan
bahwa pendidikan merupakan masalah penting yang harus diselesaikan
terlebih dahulu. Kami menyatakan pendidikan sangat penting dan merupakan
hal yang mendasar karena dari pendidikan cara pandang seseorang
terhadap permasalahan yang terjadi di sekitarnya mulai
terbentuk.Pola-pola berpikir, mengambil keputusan mulai terasah dan
tertanam. Maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika pendidikan
awal sudah salah, tentunya dalam perkembangan selanjutnya akan semakin
bertambah parah. Dengan kata lain menyimpang dari jalur yang seharusnya
(melanggar konsensus).
Kesimpulan
Permasalahan yang kami
temui dalam artikel menunjukkan bahwa sikap birokrat kita sudah
menyalahi konsensus bangsa (Pancasila). Ini semua disebabkan karena
kesalahan cara berpikir yang salah satu penyebabnya dari kesalahan pola
pendidikan yang diterima sejak awal.
Saran
Untuk menyelesaikan
semua permasalahan, langkah yang terbaik menurut kami adalah mengubah
cara pendidikan kita. Dilakukan dengan reformating metode pendidikan
yang dilakukan. Bukan hanya memikirkan kuantitas tetapi juga kualitas
anak didik yang didasarkan pada konsensus bersama (Pancasila).
(Sumber :
http://hendra-aquan.blog.friendster.com)